PENGUSAHA KURANG SETUJU MINYAK GORENG NAIK
13 Desember 2021
Pengusaha, minyak goreng PT Palmanco Inti Sawit, Iwan Hartono Alam menjelaskan, naiknya harga minyak goreng tidak terlepas dari hukum bisnis supply dan demand. Suatu produk barang bisa naik apabila supply sedikit sementara demand naik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan demand CPO naik, pertama krisis energi di Cina termasuk Eropa. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut dengan mempergunakan biodiesel berbahan CPO, itu membuat harga minyak goreng melambung.
Hasil produksi CPO masih lebih banyak diekspor, sedangkan untuk kebutuhan dalam negeri masih sedikit. Makanya ekspor CPO menjadi penyumbang devisa terbesar.
Dalam menstabilkan harga, pemerintah sempat menetapkan tarif harga minyak goreng Rp.11 ribu per liter. Tapi itu sulit dilakukan kalau harga CPO naik karena tingginya permintaan pasar dunia. Lalu untuk membatasi ekspor CPO., pemerintah memungut biaya ekspor. Semakin tinggi harga ekspor CPO, biaya pungut ekspor CPO juga naik. Tapi itu juga tidak bisa membendung ekspor CPO, sebab negara penerima CPO berani bayar mahal.
Agar tidak terjadi kesalahan pada masyarakat, pemerintah memberikan subsidi setiap pembelian minyak goreng dari biaya pungut ekspor CPO.
Diakuinya, kenaikan harga minyak goreng yang paling diuntungkan adalah pemilik perkebunan kelapa sawit. Harga tanda buah segar (TBS) saat ini naik sangat tinggi, dulunya sekitar Rp1.300 per kiogram kini sudah Rp.3.000-an per kilogram. Perusahaan kelapa sawit (PKS) tidak bisa sesuka hati memberikan harga TBS. Harga TBS di PKS sangat kompetitif. Apalagi bahan baku PKS sudah cukup, biasanya akan memberikan harga murah. Tapi sebaliknya bila bahan baku PKS masih kurang, biasanya berani beli harga tinggi.
Dengan naiknya harga, para pengusaha minyak goreng kurang suka. Karena berdampak pada daya beli masyarakat. Tapi karena harga CPO naik, mau tidak mau pengusaha minyak goreng menaikkan harga. Pengusaha minyak goreng maunya harga wajar sesuai kemampuan rakyat.
Penanganan
Direktur Utama PT Mahkota Group Tbk, Usli Sarsi mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan barang berbahan CPO di dalam negeri agar tidak terjadi kenaikan signifikan perlu dilakukan penanganan jangka pendek, menengah dan panjang.
Penanganan jangka pendek, pemerintah dapat melakukan kebijakan dari tarif pungutan ekspor CPO. Pungutan pajak CPO yang diperuntukkan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan program pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan, peremajaan sawit rakyat, sarana dan prasarana, promosi, dan insentif biodiesel, juga mensubsidi pembelian CPO untuk kebutuhan minyak goreng. Selama ini harga minyak goreng mengikuti harga CPO.
Jangka menengah dengan membatasi penggunaan bahan sawit untuk biodiesel sampai B100. Program biodiesel yang terealisasi B30. Agar penggunaan CPO tidak terlalu banyak terserap untuk energi, perlu dibatasi sampai B40. Setelah hasil produksi CPO Indonesia mengalami peningkatan, baru dilakukan peningkatan secara bertahap. Minyak goreng dan biodiesel sama - sama dibutuhkan, tapi minyak mutlak dipenuhi untuk kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan minyak goreng dari tahun ke tahun menujukkan tren peningkatan. Itu berarti kebutuhan CPO untuk olahan minyak goreng di dalam negeri juga meningkat. Guna memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri, pemerintah harus mendorong pengusaha membangun perusahaan penyulingan (refinery) CPO sehingga menghasilkan produk consumer goods, termasuk minyak goreng.
Kebijakan membatasi ekspor CPO yang dilakukan pemerintah sudah sangat tepat. Selama bertahun - tahun Indonesia penghasil CPO terbesar di dunia hanya menjual dalam bentuk mentahan. Pembatasan ekspor CPO seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, bukan berarti Indonesia anti -asing atau tidak mengakui perdagangan bebas. Sebagai negara penghasil bahan baku, seharusnya para investor yang datang ke Indonesia.
Bukan bahan baku yang di ekspor. Bonus demografi, Indonesia membutuhkan lapangan kerja. Dengan bahan baku dan tenaga kerja yang tersedia, Indonesia menjadi surga untuk berinvestasi.
Jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan CPO, hasil panen kelapa sawit harus terus ditingkatkan setiap tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perkebunan kelapa sawit pada 2020 mencapai 8,9 juta hektare. Walau pemerintah saat ini belum memberikan izin baru embukaan lahan baru, dengan luas perkebunan kelapa sawit saat ini masih bisa dimaksimalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan CPO di dalam dan luar negeri.
Mempertahankan kesuburan lahan menjadi sangat penting untuk meningkatkan hasil panen. Salah satu dilakukan dengan penggunaan pupuk organik. Sisa olahan TBS menjadi CPO dapat diolah menjadi pupuk. Ini jumlahnya tidak sedikit.
Sama - sama dimengerti
Bahan baku naik, sudah pasti minyak goreng pun naik. Dan itu tidak bisa di elakkan dan hindari karena bahan baku minyak goreng itu CPO yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit. ‘Tidak usah jauh - jauh kalau tepung naik, pisang goreng pun naik. Ini yang harus sama - sama dimengerti’ ucap Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumut, Timbas Prasad Ginting kepada wartawan kemarin.
Dia menyampaikan, kenaikan harga kelapa sawit ini tidak ada pengaruhnya dengan panen yang sedikit dan buah yang rusak. Kenaikan harga kelapa sawit ini disebabkan produksi turun.
Produksi turun ini menurutnya karena lagi trek. Sehingga pabrik - pabrik membutuhkan buah. Apalagi mau akhir tahun butuh banyak minyak. Mereka butuh CPO yang dihasilkan dari buah kelapa sawit.
Saat ini, katanya harga penjualan TBS berkisar lebih kurang Rp.3.400 per kilogram. Kenaikan harga buah sawit ini hampir 100 persen dan paling tinggi selama ada industri sawit. ‘Pecahkan rekorlah kenaikan harga TBS ini. Jadi bergembiralah petani sawit harga TBS naik. Apalagi Bapak Presiden informasinya tidak lagi mengekspor CPO, pasti harga buah sawit kemungkinan bisa naik lagi’, tandasnya.
Namun kenaikan harga sawit ini, belum tentu bisa dinikmati petani swit. Alasannya karena harga pupuk bisa niak juga 100 persen. Dampaknya secara tidak langsung akan mengurangi pendapatan petani sawit. ‘Di sini kita juga merasa prihatin. Petani sawit menikmati kenaikan harga buah sawit, tapi terpotong dengan kenaikan harga pupuk’, ucapnya.
Makanya, kalau pupuk naik petani sawit jarang atau banyak yang tidak melakukan pemupukan. Padahal kalau petani memupuk sesuai dengan dosis kebutuhan pohon itu, berarti tumbuh enam bulan, maka produk akan naik lagi. ‘Petani sawit rasanya berat beli pupuk normal - normal saja, pasti petani memupuk dan tumbuh 6-1 tahun produksi sawit akan naik. Inilah kita dibilang agak ‘happy’, Ibaratnya menikmati senyum dan ketawa, tapi tidak terbahak - bahak’, tuturnya sembari menambahkan ada 89 pengusaha sawit yang bergabung di GAPKI Sumut.
Dia berharap bagaimana supaya ekonomi ada pertumbuhannya. Kalau ekonomi tumbuh pendapatan akan naik. Terkait minyak goreng memang sudah hukum alam. Tidak ada barang harga naik itu sudah biasa.
Lagian, lanjutannya, kalau kita mau makan kan tidak dengan minyak goreng saja dengan rebusan juga bisa. Itu tidak menjadi alasan. Siapa yang mau dalam dunia usaha bahan baku dibeli mahal, tapi dijual produk dengan harga murah. ‘Jadi bagaimana harga ini dimanfaatkan naik, pertumbuhan ekonomi ada. Coba kalau harga ini naik, produksi orang tinggi berartikan hidup daerah itu. Masyarakat juga banyak dapat pekerjaan’, katanya.
Sumber : https://analisadaily.com/e-paper/2021-12-12/files/mobile/index.html#1