Ikuti kami




SAWIT MASA DEPAN INDONESIA

30 September 2021

Kelapa sawit hanya dapat tumbuh subur di daerah tropis sepanjang garis khatulistiwa yang memiliki curah hujan berlimpah dan beberapa syarat agroklimat tertentu lainnya. Sepanjang 40.075 Km garis khatulistiwa mengelilingi bumi, 78.7% berada di air dan 21,3% darat. Itu berarti tidak banyak daratan di muka bumi ini dapat ditanami kelapa sawit.

Secara geografis hanya empat benua yang dilalui garis khatulistiwa yakni Benua Afrika, Asia, Osenia dan Amerika Selatan. Dari keempat benua tersebut, tidak semua negara pula yang dapat ditanami sawit. Hanya negara Indonesia, Malaysia dan sebagian kecil Afrika dan sebagian kecil lagi Amerika Tengah dan Latin. Indonesia adalah surga tanaman kelapa sawit. Itu karena daratan Indonesia yang paling luas dapat ditanami sawit bila dibandingkan negara yang bisa ditanami kelapa sawit. Alasan ini pula tanaman sawit yang kali pertama di bawa orang Belanda dari Afrika sebanyak 4 biji dari tahun ke tahun terus mengalami perluasan. 

Mengutip data Direktorat Jenderal  (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia luas lahan perkebunan kelapa sawit tahun 2020 mencapai 14,99 juta hektare, naik hampir 272 ribu hektare dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 14.724 juta hektar. Dengan luas tersebut, Indonesia menjadi negara memiliki perkebunan kelapa sawit paling luas di dunia. Ini otomatis produksi kelapa sawit juga mengalami peningkatan. BPS mencatat ekspor produk sawit Indonesia tahun  2016 mencapai US$ 14,36 miliar, kemudian setelah empat tahun kemudian (2020) BPS merilis ekspor produk sawit mencapai 34 juta ton, Angka ini lebih rendah dari 2019 yang mencapai 37,39 juta ton.


Kekuatan Ekonomi

Kalau dulu kekuatan ekonomi dipegang oleh negara yang memiliki banyak sumur minyak dan tambang batubara sebagai sumber energi. Melimpahnya energi yang dimiliki banyak negara berlomba-lomba mengembangkan teknologi dan industri. Sayangnya perkembangan teknologi dan industri tidak diimbangi dengan peningkatan ketersediaan sumber energi. Akhirnya ketersediaan energi semakin menipis, sementara kebutuhan energi terus semakin meningkat untuk menghidupkan teknologi dan menggerakkan industri.

Menipisnya ketersediaan energi muncul kekhawatiran. Bagaimana teknologi bisa dihidupkan dan industri bergerak bila sumber energi tidak tersedia. Agar teknologi bisa tetap hidup dan mesin teknologi dapat bergerak, maka dikembangkan sumber energi alternatif seperti energi angin, sinar matahari, air, panas bumi sampai nuklir.

Pada awalnya penggunaan energi alternatif masih dapat memehuni kebutuhan teknologi dan industri. Tapi teknologi dan industri terus berkembang, kebutuhan energi terus semakin meningkat. Energi alternatif seperti energi  angin, sinar matahari, air, panas bumi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan teknologi dan industri yang terus bertambah. Maka untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, dikembangkan energi nuklir menjadi alternatif. 

Penggunaan energi nuklir diyakini mampu memenuhi kebutuhan teknologi dan industri. Jepang salah satu negara yang paling banyak mempergunakan energi nuklir untuk kebutuhan teknologi dan industri. Sayangnya penggunaan energi nuklir memberi dampak buruk pada lingkungan. Ini telah dialami Jepang ketika terjadi gempa, energi nuklir mengalami kerusakan dan membawa dampak buruk pada lingkungan dan manusia sekitar.

Agar teknologi tetap hidup dan industri selalu bergerak tanpa harus memberi dapak buruk pada lingkungan, penggunaan energi dari tumbuh-tumbuhan pun dikembangkan sepertu beras, jangung, sawit dan sebagainya. Dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dikembangkan menjadi energi, sawit yang paling memungkinkan. 

Alasannya dari hasil produksi paling produktif, karena dapat empat hingga sembilan kali lipat dari hasil panen biji minyak lainnya. Harga jual minyak sawit juga paling murah, dengan margin rata-rata 20 persen dibandingkan dengan harga jual tanaman biji minyak lainnya. Keuntungan lain biaya proses produksi yang dilakukan setiap ton nya lebih murah, sekitar US$ 200 per ton, dibandingkan dengan US$ 360 per ton untuk minyak kedelai, sebagai harga terendah kedua biaya produksi per tonnya. Secara keseluruhan, tidak ada tanaman biji minyak yang mendekati kelapa sawit, baik dari segi hasil panen maupun biaya produksi.

Sawit juga membutuhkan pupuk paling sedikit di antara minyak biji dan tanaman minyak nabati lainnya. Sawit membutuhkan sekitar 2 kilogram pestisida dan 47 kg pupuk untuk menghasilkan 1 ton minyak, sementara kedelai membutuhkan 29 kg pestisida dan 315 kg pupuk dan lobak membutuhkan 11 kg pestisida dan 90 kg pupuk untuk menghasilkan setiap ton minyaknya. Dari penggunaan lahan kedelai, bunga matahari, dan lobak juga membutuhkan lahan lima hingga delapan kali lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan sawit untuk menghasilkan setiap ton minyaknya.

Keunggulan yang dimiliki sawit sebagai sumber energi yang berkelanjutan (sustainable) untuk memenuhi kebutuhan teknologi dan industri yang terus berkembang. Sayangnya tidak banyak negara yang dapat menghasilkan energy dari bahan baku sawit. Isu-isu negatif (black campaign) pun gencar dilakukan banyak negara sebagai bentuk kekhawatiran makin meluasnya penggunaan bahan baku sawit, khususnya kebutuhan energi. Tanaman sawit yang tumbuh subur merupakan anugerah Tuhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

Berdasarkan data dari Oil World, tren penggunaan komoditi berbasis sawit di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis komoditas vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, minyak kelapa Pangsa pasar minyak sawit terus mengalami peningkatan dari 22 persen di tahun 1965 menjadi 40 persen tahun 2016. Sementara pangsa minyak kedelai turun dari 59 persen menjadi 33 persen pada periode yang sama.

Sejak 2004 penggunaan komoditi minyak sawit telah menduduki posisi tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 8% per tahun, mengalahkan komoditi minyak kedelai sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8% per tahun. Komoditi lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2% per tahun. Ke depan, laju pertumbuhan ini diperkirakan akan terus bertahan, bahkan tidak tertutup kemungkinan meningkat sejalan dengan tren penggunaan bahan bakar alternatif berbasis minyak seperti biodiesel.


Peningkatan Produksi

Meski Indonesia telah menjadi negara memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, masih banyak investor yang ingin membuka lahan baru. Ini tidak terlepas penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu. Sayangnya keinginan investor untuk membuka lahan baru perkebunan kelapa sawit masih terhalang  Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit atau lazim disebut Inpres Moratorium Sawit.

Walau Inpres Moratorium Sawit ini sudah berakhir tanggal 19 September, namun Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap akan menghentikan perizinan baru perkebunan sawit di kawasan hutan. Salah satu belum dibuka periizinan perkebunan kelapa sawit karena pemerintah telah berkomitmen untuk menuju penyerapan bersih atau net sink karbon pada 2030 untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and land use/FOLU). 

KLHK juga memperbarui luasan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2021 periode II adalah seluas 66.139.183 hektare, atau turun dari luasan 66.182.094 hektare yang dinyatakan pada periode pertama tahun ini.Tidak ada penambahan izin lahan baru, Indonesia masih bisa dapat memenuhi kebutuhan pasar global dengan meningkatkan produktivitas. Harus diakui produktivitas sawit Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Malaysia telah mampu  menmghasilkan 3,96 ton/ha. Sedangkan data dari Dirjen Perkebunan rata-rata 3,66 ton/ha. Padahal dengan pengolahan yang baik bisa mencapai 7,8 ton/ha. Ini menunjukkan sawit masa depan Indonesia.

Sumber : Analisa