Ikuti kami




USLI SARSI : PENGURANGAN BATU BARA KEUNTUNGAN SAWIT INDONESIA

23 November 2021

Untuk pertama kalinya konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) yang berakhir Sabtu (13/11) lalu, mencapai kesepakatan bahwa bahan bakar fosil penyebab utama pemanasan global. Seperti kita ketahui bersama bahwa beberapa negara yang selama ini menggunakan batu bara sebagai bahan energi selalu menolak isu pemanasan global. Alasannya karena penggunaan batu bara tidak ramah lingkungan dan salah satu penyebab terjadi pemanasan global. 

Pada konferensi iklim kali ini pada mulanya juga terjadi penolakan.Dimenit-menit terakhir India ,yang didukung Tiongkok dan sejumlah negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara, menolak pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara dihapus secara bertahap.

Setelah utusan dari Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa berunding, akhirnya diubah menjadi permintaan agar negara-negara mengurangi secara bertahap penggunaan batu bara. Hasil kesepakatan yang dicapai pada konferensi iklim kali ini merupakan kabar baik dalam membatasi pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan bagi kelangsungan mahluk. 


Keuntungan Indonesia

Lantas apa keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil kesepakatan konferensi iklim tersebut untuk Indonesia? Dengan pengurangan secara bertahap, tentu saja negara yang selama ini menggunakan batu bara sebagai sumber energi akan mencari energi alternatif yang tentunya ramah lingkungan. Salah satu sumber energi pengganti batu bara adalah biodiesel.

Mengutip dari diskusi daring Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan di Jakarta, Senin 26 April 2021 lalu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia produsen terbesar biodiesel di dunia dengan jumlah produksi mencapai 137 ribu barel minyak per hari lebih tinggi dibandingkan angka produks biodiesel Amerika Serikat dengan 112 ribu barel, Brazil 99 ribu barel, dan Jerman 62 ribu barel minyak per hari. 

Seperti diketahui, kegiatan produksi biodiesel di Indonesia telah berjalan cukup panjang dan terus mengalami peningkatan produksi. Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2009 produksi biodiesel 190 ribu kiloliter (kl), tahun 2012 naik menjadi 2,2 juta kl. Tahun 2015 kembali lagi naik menjadi 2,6 juta kl, tahun 2018 naik menjadi 6,2 juta kl dan tahun 2020 naik menjadi 8,59 juta kl. 

Meningkatnya produksi biodiesel di Indonesia setiap tahunnya menunjukkan bahwa kebutuhan biodiesel terus mengalami peningkatan baik di dunia maupun di dalam negeri. 

Mengutip data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mengungkapkan serapan biodiesel Indonesia mencapai 833.197 kl pada September 2021. 

Selama Januari-September 2021, serapan tertinggi terjadi pada Juni. Serapan biodiesel mencapai 867.458 kl pada bulan tersebut. Jumlah serapan ini bahkan lebih tinggi dari rerata alokasi serapan biodiesel tiap bulan yang sebanyak 766.667 kl. Sementara serapan terendah tercatat hanya sebesar 555.611 kl pada Januari 2021. 

Secara nasional, serapan biodiesel nasional sudah mencapai 6,65 juta kl pada Oktober 2021.Ini berarti serapan biodiesel nasional sudah mencapai 72,17% dari target 9,2 juta kl sepanjang 2021. 

Sementara itu, serapan biodiesel domestik mencapai 8,4 juta kl pada 2020 lalu. Capaian tersebut mencapai 87,96% dari alokasi yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM sebesar 9,55 juta kl.

Kini dengan adanya kesepakatan pengurangan penggunaan batu bara secara bertahap diperkirakan permintaan biodiesel akan mengalami peningkatakan yang cukup signifikan. Ini tentu saja sangat menguntungkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak nabati (sawit) terbesar di dunia sebagai bahan campuran bahan bakar solar.

Dengan semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar fosil, maka campuran minyak nabati yang dilakukan semakin meningkat sampai menjadi B100. Sementara negara-negara Eropa yang juga penghasil minyak nabati seperti bunga matahari, kedelai dan sebagainya tidak akan mampu mengimbangi hasil produksi minyak nabati dari sawit.


Hilirisasi

Seperti diketahui bahwa kebutuhan minyak sawit bukan saja untuk biodiesel sebagai sumber energi, tapi juga kebutuhan lainnya seperti kebutuhan pangan, consumer goods dan kebutuhan lainnya.

Hilirisasi produk kelapa sawit mutlak dilakukan dan pemerintah telah menyiapkan hilirisasi produk kelapa sawit.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah menyiapkan roadmap hilirisasi produk kelapa sawit, antara lain peningkatan produktivitas, penunjang kegiatan hilir seperti oleofood, oleokimia dan biofuel, penciptaan ekosistem, tata kelola, capacity building dan pengembangan teknologi untuk pengembangan usaha kelapa sawit. Ini otomatis akan menciptakan lapangan kerja baru dan tentunya menyerap tenaga kerja, walau selama ini industri kelapa sawit telah berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja baik langsung maupun tidak langsung.

Selain itupula dengan adanya hilirisasi akan meningkatkan devisa negara. Pada tahun 2020 devisa dari hasil ekspor minyak sawit sebesar US$23 miliar. Devisa tersebut merupakan penyumbang terbesar dalam surplus neraca perdagangan non-migas tahun 2020, yakni dari US$ 27,70 miliar net ekspor nonmigas dan sekitar 83% diantaranya disumbang devisa sawit.

Dengan memperkuat hilirisasi produk kelapa sawit Indonesia dapat menjadi bisa menjadi penentu harga ataupun pricecenter bagi CPO global. Sebagai negara penghasil CPO berbesar di dunia, tentu saja harus menjadi penentu harga. Selama ini, harga CPO masih ditentukan dari harga pasar sehingga mudah dipermainkan.

Bila melihat dari luasan lahan Indonesia yang dimiliki 10 persen dari total global land bank for vegetable oil dan sebanyak 55 persen pangsa pasar minyak sawit dunia ataupun minyak nabati telah dikuasai sudah cukup alasan kuat menjadi negara penentu harga CPO. Selain itu juga, Indonesia diketahui mampu menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia yang sangat berperan penting dalam konteks ketahanan pangan dunia.

Sumber : https://analisadaily.com/e-paper/2021-11-23/files/mobile/index.html#12